Awalnya
Tulungagung merupakan daerah kecil yang terletak di pusat kota
(alun-alun). Tempat tersebut dinamakan Tulungagung karena merupakan
sumber air yang besar – dalam bahasa Kawi. Tulung berarti mata air, dan
Agung berarti besar. Daerah yang lebih luas disebut Ngrowo. Nama Ngrowo
masih dipakai sampai sekitar awal abad XX, ketika terjadi perpindahan
pusat ibukota dari Kalangbret ke Tulungagung.
Pada
tahun 1205 M, masyarakat Thani Lawadan di selatan Tulungagung, mendapat
penghargaan dari raja Daha terakhir, Kertajaya, atas kesetiaan mereka
kepada Raja Kertajaya ketika terjadi serangan musuh dari timur Daha.
Penghargaan tersebut tercatat dalam prasasti Lawadan dengan candra
sengkala “Sukra Suklapaksa Mangga Siramasa” yang menunjukkan tanggal 18
November 1205 M. Tanggal keluarnya prasasti tersebut akhirnya dijadikan
sebagai hari jadi kabupaten Tulungagung sejak tahun 2003.
Di
Desa Boyolangu, Kecamatan Boyolangu, terdapat candi Gayatri. Candi ini
adalah tempat untuk mencandikan Gayatri (Sri Rajapatni), istri keempat
Raja Majapahit yang pertama, Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana),
dan merupakan ibu dari Ratu Majapahit ketiga, Sri Gitarja
(Tribuwhanatunggadewi), sekaligus nenek dari Hayam Wuruk (Rajasanegara),
raja yang memerintah kerajaan Majapahit di masa keemasannya. Nama
Boyolangu itu sendiri tercantum dalam Kitab Nagarakertagama yang
menyebutkan nama Bhayalango (bhaya = bahaya, alang = penghalang) sebagai
tempat untuk menyucikan beliau. Berikut ini adalah kutipan Kitab
Nagarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca dan telah diterjemahkan
ke dalam Bahasa Indonesia :
“Prajnya
Paramita Puri itulah nama candi pasareyan yang dibangun. Arca Sri
Padukapatni diberkahi oleh Sang Pendeta Jnyanawidi. Telah lanjut usia,
paham akan tantra, menghimpun ilmu agama, laksana titisan Empu Barada,
menggembirakan hati Sri Paduka. Di Bhayalango akan dibangun pula candi
pasareyan Sri Padukapatni. Pendeta Jnyanawidi lagi yang ditugaskan
memberkahi tanahnya. Rencananya telah disetujui oleh sang Mahamantri
Agung demung. Boja Wisesapura namanya, jika candi sudah sempurna
dibangun. Candi pasareyan Sri Padukapatni tersohor sebagai tempat
keramat. Tiap bulan Badrapada disekar oleh para Mahamantri Agung dan
pendeta. Di tiap daerah rakyat serentak membuat peringatan dan memuja.
Itulah sorganya, berkah berputra, bercucu narendra utama.”
Hari
jadi Kabupaten Tulungagung yang diperingati setiap tanggal 1 April
termaktub dalam buku “Sejarah dan Babad Tulungagung”. Di dalam buku itu
disebutkan bahwa tonggak hari jadi Tulungagung bertepatan dengan tanggal
1 April 1824 Masehi.
Angka tahun 1824 masehi
didasarkan pada Candrasengkala Memet yang terdapat pada sepasang Arca
Dwarapala yang berada di empat penjuru batas kota Tulungagung. Candra
Sengkala tersebut berbunyi “Dwi Rasekso Sinabdo Ratu” yang menunjukkan
angka tahun jawa 1752. Dengan berpedoman selisih waktu 72 tahun maka
tahun jawa 1752 sama dengan tahun 1824 Masehi. Itu sebabnya sampai
dengan tahun 2002 yang lalu kita baru memperingati hari jadi Tulungagung
ke-178.
Angka tahun 1824 Masehi juga
ditafsirkan sebagai tanda dimulainya pembangunan pusat kota baru yang
terletak disebelah timur kali Ngrowo yang sekaligus menandai pusat
Kabupaten Ngrowo ke Kabupaten Toeloengagoeng dengan dikeluarkan Besluit
Gubernur Hindia Belanda Nomor: 8 tanggal 14 Januari 1901. Itu sebab kita
selalu memperingati hari jadi Tulungagung pada tanggal 1 April.
Berdasarkan
penafsiran dan keyakinan bahwa tanggal 1 April 1824 sebagai hari jadi
Tulungagung, banyak pihak yang ragu dan keberatan. Termasuk juga Panitia
Peringatan Hari Jadi Tulungagung yang ke-176 pada tahun 2000 yang
merekomendasikan tentang perlunya peninjauan kembali terhadap
penanggalan Hari Jadi Tulungagung.
Tanggal 24
Juli 2000 diselenggarakan seminar “Kaji Ulang Hari Jadi Kabupaten
Tulungagung” yang dihadiri oleh unsure Eksekutif, Legislatif, Pemerhati
Sejarah, Budayawan, Pemuka Masyarakat, dan LSM di Tulungagung. Dan
disepakati tentang penelusuran hari jadi dan penulisan ulang sejarah
Daerah Tulungagung.
Pada tanggal 9 Oktober 2002
ditetapkan peraturan daerah Kabupaten Tulungagung No :27 Tahun 2002
tentang hari jadi Tulungagung. Pada bab II pasal 2 ayat 1 disebutkan
bahwa tanggal 18 Nopember 1205 ditetapkan sebagai hari jadi Tulungagung.
Sejak
tahun 2003 hari jadi jadi Tulungagung diperingati setiap tanggal 18
Nopember. Penetapan tanggal ini merupakan hasil penelitian seksama
terhadap peninggalan sejarah berupa Prasasti Lawadan yang terletak di
sekitar Desa Wates Kecamatan Campurdarat, yang menyatakan “Sukra
Suklapaksa Mangga Siramasa” yang artinya Jumat Pahing 18 Nopember 1205.
Prasasti
Lawadan dikeluarkan atas perintah Raja Daha terakhir yaitu, Paduka Sri
Maharaja Sri Sarwweswara Triwikrama Watara Nindita Srengga Lancana
Digjaya Tungga Dewanama yang lebih dikenal dengan Sri Kertajaya atau
Raja Kertajaya.
Pada prasasti itu dijelaskan
tentang anugrah Raja Kertajaya berupa pembebasan dari berbagai pungutan
pajak dan penerimaan berbagai hak istimewa kepada Dwan Ri Lawadan Tken
Wisaya, atau dikenal dalam cerita sebagai Dandang Gendhis.
Alasan
dipilihnya Prasasti Lawadan sebagai tonggak sejarah berdirinya
Kabupaten Tulungagung dan menggantikan Besluit Gubernur Jendral
Hindia-Belanda Nomor : 8 tahun 1901 adalah karena prasasti Lawadan
memenuhi 9 kriteria dari 13 kriteria yang digunakan untuk menetapkan
hari jadi suatu daerah.
Dengan demikian, sejak tahun 2003 kita memperingati hari jadi Kabupaten Tulungagung setiap tanggal 18 Nopember.